Namanya Dimas.
Cerahnya pagi Cirebon terhalang oleh
kabut kelelahanku yang baru bisa tidur selepas shubuh. Pukul 08.00 tepat aku baru saja terbangun,
itu pun terpaksa karena anak-anak yang lain memaksa ku pergi dari kerajaan
mimpi tentang negri ionianis yang ku karang.
“bangun teh, kita harus pergi ke TK
buat kunjungan,,”
suara bias rembulan wanita palembang yang menurutku dia bangga kali ini
karena bisa membangunanku,
biasanya aku yang mengganggu tidur panjangnya.
“hmmmm,,,,” jawabku singkat, dengan penuh berat hati aku bangkit dari tidur
dan pause tayangan kerajaan mimpi,
“udah pada mandi semua ya? Hmm,,,, aq aja yang belum mandi?”
malas mandi…. Hehehe. Dimeja sudah
tersaji makanan khas Cirebon ya,, mereka menyebutnya lenko.
“hmm,,, isinya kaya gado-gado nanggung
ya?”
menuju meja langsung menyantap makanan, aku menghiraukan tatapan sinis
mereka melihat anak gadis bangun tidur langsung mencari makanan.
-----0-------
Turun dari mobil kami di sambut oleh plang papan nama yang terletak di atas gerbang “TK. Akmala Sabila”, gemuruh suara anak-anak yang saling bersahutan membuatku membayangkan isi rumah yang penuh dengan gambar karakter cartoon. Didepan pintu bunda Leli sudah siap menyambut kami, memperkenalkan anak-anak didiknya. “disini ada dua kelas A dan B, nanti kaka siap-siap aja ya dipanggil bunda karena disini anak-anak memanggil bunda ke semuanya. Yu,,, dikenalin”
Bunda Leli membuka pintu kelas A yang terletak disebelah kanan dari tempat kami masuk tadi, beriring dengan suara pintu yang berdercit kami pun dikejutkan dengan sekumpulan anak-anak yang sangat mungil berseragam polisi (sungguh ini sangat lucu kawan). Semua kegiatan yang mereka lakukan sejenak berhenti bahkan anak yang menangis pun tiba-tiba langsung diam dan menatap kedatangan kami (padahal butuh waktu setengah jam lebih bunda dikelas ini untuk membuat nya diam), tak lama adegan saling menatap pun terhenti karena tiba-tiba terdengar suara bunda Leli.
“anak-anak hari ini kalian
kedatangan tamu bunda-bunda dari Jakarta, ayo kenalkan ini bunda Hasna, dan
bunda Mega”
(kebetulan hanya kami berdua yang
datang ke kelas itu),
tanpa ada tanggapan yang berarti
keriuhan anak-anak kembali terjadi, termasuk anak yang tadi menangis melanjutkan
adegan mengharukannya… -_-
Anak-anak kelas A ini masih sangat kecil, secara jujur aku tak sanggup harus lama-lama disini, aku masih harus banyak belajar untuk memahami dunia mereka. tak sampai 10 menit aku pindah menuju kelas B yang terletak disebrang pintu kelas A, suasana disini sedang ramai karena ada anak yang menangis
“kenapa koq nangis?” Tanya bunda di kelas ini,
“dipukul bunda…. ”
(setidaknya itu yang aku dengar diantara tarikan nafas nya karena
bersaingan dengan suara nangis ala bocah)
“loh… siapa yang pukul? Udah yu
baikan lagi.. ”
bujuk si bunda, dalam pikir ku kenapa si bunda langsung nyuruh si anak
baikan? Padahal ia belum tau siapa tersangka/ korban? apa kasusnya? modus si
pelaku? dan sebab terjadinya pemukulan ini? Hehehe,,, mentang-mentang baru
belajar psikologi forensic kenapa aku melupakan kepolosan dunia anak-anak gini
ya? Hhehehe,,, (rumpi dalam otak ku),
“itu bunda yang mukulin aku…” (sambil mengarahkan telunjuknya ke anak yang badannya lebih besar),
semua mata tertuju pada anak
yang ia tunjuk, sayang muka si anak tidak mendukung suasana
dramatis yang diciptakan si korban, dengan muka yang tak menunjukan rasa penyeselan ia
tetap bermain dengan teman sebelahnya. Suasana tak banyak berubah meski
tangisan si anak tak kunjung jua usai, proses belajar masih berlanjut dengan
beberapa anak yang memperhatikan, sisanya? Sudah bisa ditebak lari-larian entah
kemana? (padahal ruang kelas cukup sekali pandang tak sampai terhalang bukit.
hehehe) dengan keheranan aku bertanya pada bunda yang berada disebelah ku
“bund, itu koq ga cepet di akrabin lagi anak nya?”
dengan muka yang penuh kepasrahan sang bunda menjawab
“wah itu memang sudah biasa bunda, anak itu memang setiap hari nya harus
ada yang nangis gara-gara dia, jadi bunda disini gavmau terlalu diambil pusing
dengan kasus yang sama”
(hhhmmmm,,,, parah di TK aja harus ada acara tumbal menumbal setiap
harinya? Wuih,,, canggih juga ya nie bocah?).
Penasaran aku menghampiri anak yang berbadan kekar ini (bayangkan giant di
kartun doraemon), segera au memasang muka semanis tanpa pemanis buatan dan
senyuman seawet mungkin tanpa formalin.
“wuih,,, rame banget maennya? Maen
apa ini?”
tanpa ada respon yang sesuai dengan
stimulus yang kubuat si anak tetap melanjutkan permainan dengan teman yang
badannya lebih kecil, aku pun tak mengerti apa yang mereka main kan? Tak ada
alat, tak ada peraturan yang tertera , tetapi mereka sangat puas tertawa. Tetap
memasang muka tembok aku terus melakukan pendekatan (sombong ku meraja karena merasa
berpengalaman telah menangani anak ADHD di tempat kerjaku, masa aku tak bisa
menangani anak ini?)
“siapa namanya” basa-basi selanjutnya,
“aku Ilham bunda… ” akhirnya aku menemukan jawaban meski bukan dari anak
yang kuharapkan, setidaknya satu langkah lebih maju.
“hey Ilham, kalau yang ini siapa?”
Sambil menyodorkan tangan kanan ku tanda perkenalan, si anak dengan penuh ke angkuhannya mencoba menyuekan aku, namun karena melihat temannya yang mulai mencari perhatianku si anak langsung menerima jabatan tanganku dan menjawab “DIMAS” singkat!
Tapi ini langsung menyita perhatian
teman-teman ku yang memperhatikan dari tadi, kita semua langsung tertawa
menyaingi keriuhan anak-anak dikelas ini.
“deketin terus ga,,, kamu berpengalaman lah untuk mengatasi yang nama nya
Dimas” tantang temanku,
“aih,,, bisa aja. Beda lagi lah Dimas yang itu mah hahahah”
seketika kelas menjadi kelas rumpi para petualang bumi Cirebon.
Tanpa menghiraukan rumpian kami Dimas dan anak yang lainnya melanjutkan permainannya, terkecuali Ilham yang mencoba untuk menarik perhatian ku, dimulai dengan minta dipangku sambil bertanya yang tak lepas dari kepolosan. Melihat kami Dimas mencoba menarik Ilham dari ke akraban yang kami bangun hanya dalam beberapa menit saja, sayang untuk kali ini Ilham tak menuruti Dimas, kesal Dimas langsung memukul Ilham dan melarikan diri meninggalkan Ilham yang menangis dipangkuan ku (hahaha drama banget! :P) .
Setelah meredakan tangisan Ilham aku menghampiri Dimas yang menyendiri di waktu makan siang nya, sambil memainkan makanan yang tak sama dengan anak-anak yang lain hanya 1 teh kotak dan 2 chiki berMSG (tak niat sekali memberi bekal)Dimas cemberut menyambut kedatanganku dan tak mau melihat.
“makan apa Dimas hari ini? ”kembali
aku mencoba untuk meramahkan diri,
“bunda minta maaf ya? ” rayuan ku
yang kedua,
“mumpung bunda masih disini loh,,, nanti bunda mau ke yang lain lagi, bunda
minta maaf ya?”
rayuan ketiga diperkuat dengan
sodoran kelingking yang biasa aku pakai dulu sewaktu kecil jika bermaafan,
sementara Dimas masih sibuk dengan makanan yang telah berhasil ia buka
“bunda jangan kesini, mau minta makanan aku ya?”
hah? Jawaban yang mengejutkan! Jadi
dari tadi aku dicemberutin hanya karena takut makanan nya aku minta? Aih…..
bocah. (mungkin ini salah satu alasan kenapa aku tak bisa berlama-lama dengan
anak kecil).
“kamu kenapa pukul Ilham tadi? Minta maaf yu?”
mencoba untuk mengajarinya tentang arti meminta maaf ,
“ga mau, Ilham tadi udah ngerebut perhatian bunda”
hening,,,,, jawaban yang membuatku entah mengapa merasa terenyuh.
“hmmm,,, kalau gitu bunda minta maaf boleh?”
“ engga ah bunda, aku ga mau baikan sama bunda!”
Karena badannya yang besar gerakan tangannya yang tanpa arah mengenai muka ku terkesan memukul, namun aku yakin itu bukan pukulan yang disengaja, dia langsung terdiam dan melanjutkan makan seakan ingin menutupi rasa bersalahnya. Sedikit terkejut aku mengusap kepalanya dan meninggalkan Dimas yang sedang makan meski terkesan hambar. Langkah kaki ku pun tak sepenuhnya kuat, aku masih penasaran dalam melakukan pendekatan kepada Dimas, namun entah mengapa ilmu psikologi dan motivasi ku mendadak hilang beriringan dengan langkah kaki ku menuju ruangan tengah.
Menutupi kebingungan, aku membuka laptop kesayangan yang kuberi nama Denok tanpa tujuan yang jelas apa yang akan ku lakukan terhadap si Denok, membuka fie-file langsung menutupnya (terus terjadi beberapa kali) sampai kedatangan Dimas sang anak kekar yang memasang muka malu-malu nya.
“bunda… ” menghampiri ku dengan manja,
“kenapa?”
“ lagi ngapain?”
“depan laptop, kenapa Dimas?”
“aku mau maafin bunda”
“boleh liyat ga bunda?”
manjanya diperkuat dengan tingkah lakunya yang minta dipangku (badannya
cukup besar kawan, sampai badan ku terhalang saat memangku Dimas),
“ya Dimas boleh liyat”
sambil mengirinya dengan senyum
(menutupi rasa pegalku yang baru beberapa detik
memangku Dimas), anak-anak dan bunda yang lain hanya bisa tersenyum
melihat kemanjaan Dimas, teman ku yang lain sibuk mengabadikan kejadian ini,
tak lama bunda kelas B meminta semua anak untuk memasuki ruangan. Tak enak
dengan anak-anak yang lain aku meminta Dimas untuk memasuki ruangan juga, meski
aga berat hati Dimas akhirnya menuruti untuk masuk ruangan.
Ruangan kelas B tertutup dan bunda Lili pun tersenyum
“Dimas jarang sekali minta maaf, kasian dia ibu nya single parent dan
sangat sibuk mencari nafkah. Ya….. dampaknya kurang memperhatikan Dimas, terkadang
hanya saya yang bisa menangani Dimas kalau lagi ngamuk, makanya bunda yang lain
kalau ada adegan Dimas nangisin teman-temannya focus meredakan tangisan saja,
untuk Dimas mereka angkat tangan”.
Tertegun aku mendengarkan paparan
Bunda Lili, aku merasa termasuk orang
yang beruntung untuk mendapatkan kelingkingnya Dimas. Anak yang mengalami ujian
tak sesuai dengan perkembangannya, anak
yang mengemis perhatian meski cara yang ia lakukan tak seharusnya pada umur
kelas TK B. Aku terus memutar otak untuk secepat mungkin memaksa diri mengerti
dunia anak dan mencintai keunikan mereka, karena aku dicipitkan untuk
melahirkan seorang anak dan aku di arahkan kepada jalan yang mengaharuskan
mengerti psikis mereka. dalam harap terakhir ku setelah berpamitan pulang , aku
selalu berharap takan ada Dimas yang lain sebagai pengemis perhatian, yang ia
tidak dapatkan dari seseorang yang seharusnya. Amiin…. J
1 komentar:
bunda baik deh... :)
Posting Komentar